
Masih ingat jelas perjuangan para pahlwan reformasi 98
mereka berjuang untuk rakayat indonesia.
jiwa raga mereka pertaruhkan untuk ibu pertiwi tanah air.
dimana ketidak adilan ditaktor merajalela ekonomi tidak jauh seperti saat ini. dimana panguasa jadi haus akan harta kekayaan untuk pribadi bukan untuk rakyat.
Baca juga : TRAGEDI1998 JILID 2 TAHUN 2025 #IND0NESIA GELAP
Baca juga : Kreatifitas orasi anak STM bengkel sampai DPR
Baca juga : KATANYA HEMAT ANGGARAN KEUANGAN DPR ?
Baca juga : uya kuya artis menjadi anggota dewan dpr kontroversi
Baca juga : Eko patrio pelawak dewan DPR
Peristiwa Reformasi 1998 adalah salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia modern. Apa yang sering kita dengar sebagai “jatuhnya Soeharto” pada tanggal 21 Mei 1998 sebenarnya hanyalah puncak dari sebuah krisis multidimensi yang sudah berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Di balik perubahan besar itu, terdapat kisah nyata dari ribuan orang dari mahasiswa, masyarakat sipil, hingga etnis minoritas yang mengalami kekerasan, penjarahan, bahkan kehilangan nyawa.
Tulisan ini mencoba merekam secara rinci tragedi kemanusiaan yang melatarbelakangi lahirnya era Reformasi, melalui fakta, data, dan kesaksian para PAHLAWAN .
Sejak pertengahan 1997, Indonesia dilanda krisis moneter Asia. Nilai rupiah jatuh drastis, harga kebutuhan pokok melambung, dan PHK massal tak terhindarkan. Kemarahan rakyat memuncak karena pemerintah Orde Baru dianggap gagal mengatasi krisis, sementara praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin nyata.
Demonstrasi mahasiswa merebak di berbagai kampus: Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, UGM, hingga kampus-kampus di Medan, Surabaya, dan Makassar. Tuntutan mereka jelas: turunkan Soeharto dan lakukan reformasi total.

Tragedi Trisakti: 12 Mei 1998
Hari Selasa, 12 Mei 1998, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta melakukan aksi damai. Mereka berencana long march menuju gedung DPR/MPR, namun aparat menghalangi. Situasi memanas menjelang sore.
Sekitar pukul 17.00 WIB, ketika mahasiswa mundur masuk ke dalam kampus, terdengar letusan senjata api. Beberapa mahasiswa ambruk terkena peluru tajam. Empat orang PAHLAWAN gugur:
ALM Elang Mulia Lesmana (19 tahun, mahasiswa Arsitektur)
ALM Hendriawan Sie (21 tahun, mahasiswa Ekonomi)
ALM Heri Hertanto (20 tahun, mahasiswa Teknik Sipil)
ALM Hafidin Royan (21 tahun, mahasiswa Teknik Sipil)
4 PAHLAWAN tertembak di bagian vital: dada, kepala, dan leher. Ratusan lainnya luka-luka.
Fakta ini memperlihatkan bahwa aparat menggunakan peluru tajam, bukan sekadar peluru karet atau gas air mata. Sampai kini, siapa penembak sebenarnya tidak pernah jelas, karena penyelidikan Komnas HAM dan pengadilan militer tidak tuntas. Tragedi ini kemudian dikenang sebagai Tragedi Trisakti, simbol perjuangan mahasiswa yang rela mengorbankan nyawa demi perubahan bangsa.

Gelombang Kerusuhan: 13–15 Mei 1998
Keesokan harinya, 13 Mei, Jakarta dan beberapa kota lain berubah menjadi lautan api. Massa turun ke jalan, sebagian digerakkan spontan oleh amarah, sebagian lain ditengarai ada rekayasa politik.
Fakta korban:

http://www.eskicanakkale.com
- 1.190 orang tewas (data Tim Gabungan Pencari Fakta – TGPF).
- Mayoritas korban meninggal akibat terjebak dalam kebakaran gedung dan toko yang dijarah.
- Ribuan bangunan hancur, termasuk pusat perbelanjaan, bank, kantor, dan rumah warga.
- Kerugian materi diperkirakan triliunan rupiah.
Salah satu kisah nyata datang dari kawasan Klender, Jakarta Timur. Sebuah pusat perbelanjaan (Mal Yogya Klender) dibakar massa. Ratusan orang yang sedang menjarah atau terjebak di dalam gedung tidak bisa keluar karena pintu terkunci. Api menjalar cepat, dan sekitar 400 orang hangus terbakar hidup-hidup. Hingga kini, tragedi Klender menjadi simbol paling mengerikan dari kerusuhan Mei.
Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Tionghoa
Salah satu luka terdalam dari Mei 1998 adalah kekerasan seksual yang dialami perempuan, khususnya keturunan Tionghoa.
Laporan Komnas Perempuan mencatat ada 85 kasus perkosaan massal yang terverifikasi, meskipun jumlah sebenarnya diyakini lebih besar. Banyak korban memilih diam karena trauma, rasa malu, dan takut terhadap stigma masyarakat.
Kesaksian seorang korban, sebut saja “Maya”, menggambarkan kengerian itu: ia diseret dari rumahnya oleh sekelompok pria, diperkosa bergantian, kemudian ditinggalkan dalam keadaan babak belur. Ia dan keluarganya akhirnya memilih pindah ke luar negeri karena tidak tahan dengan tekanan psikologis dan rasa tidak aman.
Fakta ini memperlihatkan bahwa kerusuhan tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga meninggalkan luka sosial dan trauma lintas generasi.
Aktivis yang Hilang Diculik
Sejak awal 1998, beberapa aktivis pro-demokrasi mulai hilang satu per satu. Mereka adalah mahasiswa, aktivis LSM, dan pejuang HAM yang vokal menentang rezim.
Nama-nama yang hingga kini dinyatakan hilang:
- Wiji Thukul (penyair dan aktivis rakyat kecil)
- Herman Hendrawan (aktivis mahasiswa)
- Petrus Bima Anugrah
- Yani Afri
Sementara beberapa aktivis lain sempat diculik, disiksa, lalu dilepaskan, seperti: Pius Lustrilanang, Faisol Riza, Nezar Patria, dan Desmond Junaedi Mahesa.
Kesaksian mereka menggambarkan bahwa penculikan dilakukan secara sistematis: mata ditutup, tangan diborgol, dibawa ke tempat rahasia, diinterogasi, dipukul, bahkan disetrum. Mereka dipaksa mengaku sebagai “pengkhianat negara”.

Komnas HAM menyatakan penculikan ini merupakan bagian dari pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, proses hukum terhadap pelaku, termasuk perwira tinggi militer yang diduga terlibat, belum tuntas.
Perjuangan Keluarga Korban
Kisah Reformasi 1998 tidak berhenti pada korban, tetapi juga perjuangan keluarga mereka. Banyak di antara mereka kemudian menjadi aktivis keadilan.
Salah satu contoh paling konsisten adalah Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan (mahasiswa Atma Jaya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, November 1998). Sejak 2007, ia bersama keluarga korban lain melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Negara, setiap Kamis sore, sambil membentangkan payung hitam.
Mereka menuntut pemerintah dan negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi Trisakti, Semanggi, dan Mei 1998. Hingga kini, aksi Kamisan sudah berlangsung lebih dari 800 kali, menjadikannya simbol perjuangan panjang keluarga korban melawan impunitas.
Dampak Sosial dan Politik
Peristiwa Mei 1998 bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga titik balik sejarah bangsa. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia memasuki era Reformasi dengan janji demokratisasi, kebebasan pers, dan penghormatan HAM.

Namun, luka korban belum sepenuhnya pulih. Banyak pertanyaan belum terjawab:
- Siapa dalang penembakan mahasiswa Trisakti?
- Siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan dan pembakaran massal?
- Mengapa pelaku kekerasan seksual tidak pernah diadili?
- Kapan keluarga korban penculikan akan mendapatkan kejelasan nasib?
Jawaban-pertanyaan itu masih menggantung di udara, meski sudah lebih dari dua dekade berlalu.
Luka yang Belum Sembuh

http://www.eskicanakkale.com
Reformasi 1998 adalah tonggak perubahan politik yang membuka jalan bagi demokrasi di Indonesia. Namun, perubahan itu lahir dengan harga yang amat mahal: nyawa ribuan orang, tubuh perempuan yang diperkosa, aktivis yang hilang tanpa jejak, serta keluarga yang hidup dalam duka dan ketidakpastian.
Kisah nyata korban 1998 bukan sekadar catatan sejarah, tetapi peringatan moral bahwa demokrasi tidak boleh dibangun di atas impunitas. Selama para pelaku belum diadili, luka bangsa ini tidak akan pernah benar-benar sembuh.
JANGAN BIARKAN PENGORBANAN PARA PAHLAWAN 98 TERBUANG SIA SIA JANGAN BIARKAN ANAK CUCU KITA MENJADI BAHAN BUDAK UNTUK KEUNTUNGAN PARA DEWAN PEJABAT YANG DUDUK CANTIK DI DEDUNG YANG BER AC.