Benteng Rotterdam: Sejarah Kolonial Makassar dan Warisan Budaya Sulawesi

Benteng Rotterdam

Di pesisir barat daya Sulawesi Selatan, berdiri gagah sebuah benteng batu yang telah melewati ratusan tahun pergolakan sejarah: Benteng Rotterdam. Lebih dari sekadar reruntuhan kolonial, benteng ini adalah saksi bisu dari pertarungan sengit antara Kerajaan Gowa dan kekuatan kolonial Belanda. Dari simbol perlawanan hingga pusat administrasi, situs ini merepresentasikan transformasi peradaban yang membentuk wajah Makassar hari ini.

Dibangun kembali oleh Belanda pada abad ke-17 di atas reruntuhan benteng asli Kerajaan Gowa yang dikenal sebagai Ujung Pandang, Benteng Rotterdam menjadi pusat kekuasaan VOC di kawasan timur Nusantara. Namun sejarahnya jauh lebih dalam daripada tembok batu dan lorong-lorong tua. Ia adalah jejak konflik, diplomasi, dan perpindahan nilai dari budaya lokal menuju tatanan kolonial yang lebih luas.

Artikel ini akan menyusuri perjalanan sejarah Benteng Rotterdam—dari perlawanan dan perubahan, hingga menjadi bagian penting dari warisan budaya Sulawesi yang masih berdiri tegak hingga hari ini.

Dari Benteng Gowa ke Basis Kolonial

Awal Mula dan Peran Strategis Kerajaan Gowa

Sebelum dikenal dengan nama Benteng Rotterdam, benteng ini bernama Benteng Ujung Pandang, dibangun oleh Kerajaan Gowa pada abad ke-16 sebagai simbol kekuatan maritim dan militer. Terletak di tepi laut, posisinya sangat strategis untuk mengendalikan jalur perdagangan di Selat Makassar. Pada masa itu, Kerajaan Gowa menjadi salah satu kerajaan terkuat di Nusantara bagian timur, dikenal akan kekuatan armada lautnya dan jaringan perdagangan yang luas.

Penaklukan dan Perombakan oleh Belanda

Kekuasaan lokal ini terguncang ketika Belanda, melalui VOC, menaklukkan Makassar dalam Perjanjian Bongaya tahun 1667. Setelah kemenangan tersebut, VOC membongkar sebagian besar benteng asli dan membangun ulang dengan gaya arsitektur Belanda, lalu menamainya Fort Rotterdam. Inilah momen penting dalam sejarah kolonial Makassar: pergeseran dari benteng kedaulatan menjadi markas kekuasaan kolonial di Indonesia timur.

Perombakan ini tidak hanya berdampak pada struktur fisik, tetapi juga menjadi simbol hilangnya otonomi lokal. Benteng Rotterdam menjadi pusat militer, administrasi, dan penahanan—termasuk pernah menahan Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 sebelum diasingkan ke Manado.

Fungsi Ganda: Militer dan Diplomasi

Selain sebagai pangkalan militer, Benteng Rotterdam juga menjadi tempat pertemuan diplomatik antara VOC dan berbagai penguasa lokal dari kawasan timur Indonesia. Peran ini menjadikannya bukan hanya simbol dominasi kekuatan asing, tetapi juga pusat negosiasi politik yang memengaruhi jalannya sejarah kawasan timur Nusantara.

Warisan Fisik yang Bertahan

Hingga kini, struktur khas Eropa dengan batu bata merah, gerbang tinggi, dan menara-menara pantau masih berdiri kokoh. Benteng ini memuat lima bastion utama dengan nama-nama seperti Bastion Bonie dan Bastion Amboina, yang mencerminkan pengaruh luas Belanda atas wilayah kepulauan.

Sebagai salah satu ikon warisan budaya Sulawesi, Benteng ini menjadi saksi bisu perubahan besar dalam tata kuasa, budaya, dan struktur masyarakat. Ia bukan hanya peninggalan kolonial, tapi juga ruang kontemplatif atas masa lalu yang kompleks.

Fungsi Baru dalam Napas Modern

Benteng Rotterdam

Situs Edukasi Sejarah dan Budaya

Saat ini, Benteng Rotterdam bertransformasi menjadi pusat kegiatan budaya dan pendidikan sejarah. Banyak sekolah dan universitas menjadikan situs ini sebagai lokasi studi lapangan untuk memahami sejarah kolonial Makassar dan peran penting benteng dalam percaturan politik Nusantara. Museum La Galigo, yang berada di dalam kompleks benteng, menyimpan ribuan artefak dan dokumen yang memperkaya wawasan pengunjung tentang budaya lokal dan sejarah kawasan timur Indonesia.

Destinasi Wisata dan Ruang Publik

Sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya Sulawesi, kawasan Benteng Rotterdam kini dibuka untuk umum dan menjadi salah satu destinasi wisata Makassar yang paling populer. Pengunjung bisa menyusuri lorong-lorong batu, menikmati arsitektur klasik, atau menghadiri pertunjukan seni dan festival budaya yang rutin digelar di halaman benteng.

Ruang-ruang kosong di dalam benteng dimanfaatkan sebagai galeri seni, ruang komunitas, hingga panggung pertunjukan. Ini menciptakan koneksi antara sejarah dan kreativitas kontemporer, menjadikan benteng sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Tantangan Pelestarian dan Kesadaran Publik

Meski memiliki potensi besar, pelestarian Benteng Rotterdam juga menghadapi tantangan. Kurangnya pendanaan, tekanan komersialisasi, dan ketidaktahuan masyarakat akan nilai sejarah membuat perlindungan situs ini tidak selalu menjadi prioritas. Oleh karena itu, edukasi publik dan keterlibatan komunitas lokal sangat penting agar benteng ini tetap hidup sebagai ruang warisan, bukan sekadar objek wisata pasif.

Keberadaan Benteng Rotterdam sebagai bagian dari sejarah kolonial Makassar tidak hanya mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh konflik, tetapi juga menjadi panggilan untuk membangun masa depan dengan lebih sadar sejarah dan budaya.

Menjaga Jejak, Menyusun Makna Baru

Benteng Rotterdam bukan sekadar situs tua yang menjadi latar foto. Ia adalah ruang sejarah yang terus bernafas, tempat bertemunya narasi kolonial dan kearifan lokal. Dalam setiap sudutnya, tersimpan cerita pertarungan, perubahan, dan adaptasi yang membentuk wajah Sulawesi Selatan hari ini.

Sebagai bagian dari warisan budaya Sulawesi, benteng ini menawarkan lebih dari sekadar pelajaran sejarah. Ia menjadi pengingat bahwa ruang fisik dapat menyimpan memori, dan bahwa upaya pelestarian adalah bentuk penghormatan terhadap identitas kolektif masyarakat.

Dengan merawat dan memaknai ulang ruang-ruang sejarah seperti Benteng Rotterdam, kita tidak hanya menjaga bangunan, tetapi juga menjaga nilai. Karena masa depan yang kuat hanya bisa dibangun di atas pondasi masa lalu yang dipahami dan dihargai.

eskicanakkale.com