kisah Jendral Sudirman panglima besar

Sejarah Jendral Sudirman Panglima Besar TNI
Profil Jenderal Sudirman: Perjuangan Sang Pahlawan yang Memimpin Perang  Gerilya Pertama dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia - Kaltim Post

Jenderal Sudirman adalah sosok pemimpin besar yang lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan berkorban demi rakyat.
Dalam kondisi sakit parah, ia tetap memimpin perang gerilya

Baca juga : Arsitektur Tradisional Kokoh rumah adat nias
Baca juga : Filosofi Rumah Adat Warga Lampung Nuwo Sesat
Baca juga : Rumah adat Sasak kepulauan lombok
Baca juga : Tips mendapat endorsement besar di tahun 2025

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh besar yang mengorbankan jiwa, raga, dan pikirannya demi kemerdekaan. Di antara mereka, Jenderal Sudirman menempati posisi yang sangat istimewa. Ia bukan sekadar seorang panglima, melainkan simbol keberanian, keteguhan hati, dan keikhlasan dalam berjuang. Meski tubuhnya didera penyakit berat, semangatnya tetap menyala untuk memimpin pasukan mempertahankan kemerdekaan. Artikel ini akan menguraikan perjalanan hidup, kiprah militer, strategi gerilya, nilai kepemimpinan, hingga warisan perjuangan Jenderal Sudirman.

Kehidupan Awal

Jenderal Sudirman 1946

Sudirman lahir pada 24 Januari 1916 di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga sederhana, namun sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan dan kemandirian. Karena kondisi ekonomi, Sudirman kemudian diangkat sebagai anak oleh seorang priyayi bernama Raden Cokrosunaryo.
Pendidikan formalnya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk pribumi. Setelah itu ia melanjutkan ke Kweekschool Muhammadiyah di Surakarta. Di sekolah ini, Sudirman aktif dalam kegiatan keagamaan dan organisasi. Ia kemudian menjadi guru sekolah Muhammadiyah di Cilacap sekaligus pemimpin Hizbul Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah. Dari sinilah karakter kepemimpinannya terbentuk, berpadu dengan nilai religius yang kelak menjadi landasan perjuangannya.

Karier Militer

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, mereka membentuk organisasi militer Pembela Tanah Air (PETA) untuk melatih pemuda Indonesia. Sudirman bergabung dalam PETA dan dengan cepat menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin. Ia diangkat menjadi komandan batalyon di Banyumas.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai laskar rakyat dan mantan anggota PETA dilebur menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Konferensi TKR di Yogyakarta, November 1945, Sudirman yang masih berusia 29 tahun terpilih menjadi Panglima Besar. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Karismanya, kedekatannya dengan rakyat, serta wibawanya di kalangan prajurit membuatnya dipercaya memimpin pasukan.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Pertempuran Ambarawa

Salah satu pertempuran besar yang dipimpin Jenderal Sudirman adalah Pertempuran Ambarawa (November–Desember 1945). Pasukan Indonesia saat itu menghadapi tentara Sekutu yang ingin menduduki Ambarawa. Dengan taktik “supit urang” (pincer movement), Sudirman berhasil mengepung dan memaksa Sekutu mundur ke Semarang. Kemenangan ini mengangkat nama Sudirman dan memperkokoh posisinya sebagai Panglima Besar TKR.

Agresi Militer Belanda II

Kisah Jenderal Soedirman dan Nasi Oyek saat Dikepung Tentara Belanda dalam  Hutan | Halaman Lengkap

http://www.eskicanakkale.com

Ujian terbesar kepemimpinan Sudirman datang pada Agresi Militer Belanda II, Desember 1948. Belanda melancarkan serangan besar-besaran dan berhasil menduduki Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap. Namun, Sudirman tidak menyerah.
Meski sedang menderita tuberkulosis (TBC) parah dan harus ditandu, ia tetap memimpin perang gerilya selama lebih dari tujuh bulan. Bersama pasukannya, ia berpindah-pindah dari hutan ke hutan di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Gerilya ini terbukti efektif: pasukan Belanda tidak mampu memusnahkan TNI, dan dunia internasional melihat bahwa Republik Indonesia masih berjuang. Strategi ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan diplomasi Indonesia di kemudian hari.Sudirman dikenal sebagai panglima yang tidak hanya mengandalkan kekuatan senjata, tetapi juga dukungan rakyat. Ia memahami bahwa perang melawan Belanda yang memiliki persenjataan modern tidak mungkin dimenangkan dengan pertempuran terbuka. Karena itu, ia menerapkan perang gerilya dengan prinsip
:

  1. Hidup di tengah rakyat – pasukan bergerak bersama rakyat, makan dari rakyat, dan membela rakyat.
  2. Mobilitas tinggi – pasukan tidak menetap di satu tempat terlalu lama.
  3. Pukulan cepat dan mundur – menyerang secara tiba-tiba lalu menghilang sebelum musuh membalas.
  4. Psikologis musuh – menunjukkan bahwa Republik Indonesia tidak pernah mati, meski ibu kota diduduki.

Dengan strategi ini, Belanda kelelahan menghadapi perang yang tidak berkesudahan.

Nilai-Nilai Kepemimpinan
Ada sejumlah nilai yang membuat Jenderal Sudirman begitu dihormati, bahkan hingga sampai saat ini : Pantang menyerah: meski sakit parah, ia tetap turun langsung memimpin perang.

Religius dan bermoral tinggi: Sudirman selalu mengaitkan perjuangan dengan nilai iman dan doa.

Dekat dengan rakyat: ia menolak hidup berlebihan dan selalu membaur dengan masyarakat desa.

Disiplin dan integritas: tegas dalam menegakkan aturan militer, namun penuh kasih pada prajurit.
Nilai-nilai ini membuatnya bukan hanya seorang panglima, tetapi juga seorang guru bangsa

Warisan dan Penghormatan dan akhir hidup sang jendral
Warisan perjuangan Jenderal Sudirman sangat besar bagi bangsa Indonesia : Ia menjadi satu-satunya tokoh yang menyandang gelar Panglima Besar TNI.

Namanya diabadikan sebagai jalan utama di hampir semua kota besar di Indonesia.

Monumen Jenderal Sudirman berdiri di berbagai tempat, seperti Jakarta dan Yogyakarta.

Kenapa Bukan Jenderal Soedirman yang Menjadi Presiden? | KASKUS

Kisah hidupnya diajarkan di sekolah sebagai teladan kepemimpinan dan nasionalisme.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, kesehatan Sudirman kian memburuk. Ia menghabiskan sisa hidupnya di Magelang hingga akhirnya wafat pada 29 Januari 1950, pada usia 34 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Lebih dari itu, semangat Sudirman menjadi simbol bahwa perjuangan tidak selalu ditentukan oleh fisik yang kuat, melainkan oleh tekad, iman, dan keyakinan.
Hingga kini, lebih dari tujuh dekade setelah wafatnya, nama Jenderal Sudirman tetap hidup sebagai simbol perjuangan tanpa henti. Ia adalah panglima yang tidak pernah tergantikan dalam sejarah Indonesia.