Sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak hanya diwarnai oleh tokoh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan tangguh yang berani mengangkat senjata melawan penjajah. Salah satu sosok paling terkenal adalah Cut Nyak Dien, pahlawan wanita dari Aceh. Ia lahir dan berjuang dalam konteks Kesultanan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan Islam yang berdiri sejak abad ke-16 dan menjadi pusat kekuatan politik, ekonomi, dan agama di ujung utara Sumatra. Artikel ini akan menguraikan secara rinci latar belakang Kesultanan Aceh, kehidupan Cut Nyak Dien, perjuangannya bersama rakyat Aceh, kronologi perang, hingga warisan sejarah yang ditinggalkannya.

http://www.eskicanakkale.com
Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Latar Belakang
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri sekitar tahun 1514 di bawah Sultan Ali Mughayat Syah. Pada puncak kejayaannya, terutama masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), Aceh menjadi kerajaan maritim kuat yang menguasai Selat Malaka. Kerajaan ini menjalin hubungan dengan Kesultanan Utsmani, India, hingga Arab. Selain pusat perdagangan rempah, Aceh juga dikenal sebagai pusat studi Islam, sehingga dijuluki “Serambi Mekkah”.
Namun, pada abad ke-19, kejayaan Aceh mulai surut. Belanda yang telah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara berusaha menundukkan Aceh. Kesultanan Aceh, meski mengalami kemunduran politik, tetap menjadi simbol perlawanan rakyat. Dari semangat jihad inilah lahir para pejuang seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien lahir sekitar tahun 1848 di Lampadang, Aceh Besar. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama dan memiliki tradisi perlawanan terhadap penjajah. Sejak kecil, ia sudah dibekali dengan pendidikan agama, kemampuan berdiplomasi, serta pelatihan menggunakan senjata.
Pada usia muda, ia menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh. Namun, suaminya gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1878. Peristiwa ini memicu semangat juang Cut Nyak Dien untuk melanjutkan perjuangan rakyat Aceh.
Agar lebih jelas, berikut kronologi penting dalam Perang Aceh:
1908: Cut Nyak Dien wafat di Sumedang, jauh dari tanah kelahirannya.
1873: Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh. Serangan pertama mereka ke Kutaraja gagal, bahkan Jenderal Kohler tewas.
1874: Belanda menyerang lagi dan berhasil menduduki istana Sultan Aceh. Namun, Sultan Mahmud Syah melarikan diri dan rakyat tetap melawan.
1878: Teuku Cek Ibrahim (suami pertama Cut Nyak Dien) gugur dalam perang. Cut Nyak Dien bersumpah untuk melanjutkan perjuangan.
1880-an: Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar. Bersama-sama mereka memimpin pasukan Aceh melawan Belanda dengan strategi gerilya.
1896: Teuku Umar pura-pura berpihak pada Belanda, mendapat senjata, lalu berbalik menyerang. Strategi ini dikenal dengan sebutan “Het verraad van Teuku Umar” (pengkhianatan Teuku Umar) dalam arsip Belanda.
1899: Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Cut Nyak Dien kemudian memimpin pasukan secara langsung.
1899–1901: Cut Nyak Dien terus berperang meski kondisi fisiknya lemah dan penglihatannya memburuk.
1901: Karena semakin sakit, pengikutnya melaporkan posisinya. Belanda menangkapnya dan mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat.
Kepemimpinan dan Perlawanan
Setelah gugurnya Teuku Umar, kepemimpinan Cut Nyak Dien semakin menonjol. Ia dikenal tegas, tidak mudah menyerah, dan sangat keras terhadap pasukan yang ingin mundur. Bahkan, menurut catatan kolonial, Belanda mengakui bahwa pasukan yang dipimpin perempuan ini jauh lebih sulit ditaklukkan karena didorong oleh semangat jihad dan pengorbanan.
Perlawanan yang dipimpin Cut Nyak Dien bukan hanya bersifat militer, tetapi juga moral. Ia menjadi simbol bahwa Aceh tidak akan tunduk. Hal ini membuat Belanda membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menundukkan Aceh secara penuh.
Pada tahun 1901, kondisi Cut Nyak Dien semakin kritis. Karena kasihan, anak buahnya melaporkan keberadaannya kepada Belanda. Ia ditangkap, namun Belanda tidak membunuhnya karena menganggapnya sudah tua dan sakit. Sebaliknya, ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Di tanah pengasingan, ia tetap disegani. Masyarakat setempat melihatnya sebagai tokoh yang alim dan penuh wibawa. Ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Warisan Sejarah dan Pengakuan
Pahlawan Nasional: Pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Film Nasional: Kisahnya diangkat dalam film Cut Nyak Dien (1988), yang meraih Piala Citra dan mengangkat namanya ke publik modern.
Inspirasi Emansipasi: Ia menjadi bukti bahwa perempuan mampu berada di garis depan perjuangan.
Penghormatan Abadi: Namanya dipakai sebagai nama jalan, sekolah, universitas, hingga kapal perang TNI AL (KRI Cut Nyak Dien-375).
Hubungan dengan Kesultanan Aceh Darussalam
Meskipun Cut Nyak Dien tidak mendirikan kerajaan, perjuangannya merupakan kelanjutan dari semangat Kesultanan Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam sejak awal mengajarkan nilai jihad fi sabilillah melawan penjajah. Semangat itu mengalir ke dalam jiwa rakyat, termasuk Cut Nyak Dien. Dengan demikian, perjuangannya adalah refleksi dari warisan Kesultanan Aceh yang selalu menolak penindasan asing.

baca juga : Filosofi Rumah Adat Warga Lampung Nuwo Sesat
baca juga : Rumah adat Sasak kepulauan lombok
baca juga : Rumah Honai Arsitektur Tradisional Papua
Cut Nyak Dien adalah salah satu tokoh perempuan terbesar dalam sejarah Indonesia. Ia lahir di tengah kejayaan spiritual Kesultanan Aceh, tumbuh dalam tradisi jihad, dan mengorbankan segalanya untuk tanah air. Kronologi Perang Aceh menunjukkan betapa gigihnya perjuangan rakyat Aceh, dan Cut Nyak Dien menjadi ikon dari perlawanan itu.
Ia bukan pendiri kerajaan, melainkan simbol perlawanan. Warisan yang ia tinggalkan adalah semangat pengorbanan, keberanian, dan cinta tanah air yang melampaui gender maupun status sosial. Dari Aceh hingga Sumedang, namanya terus dikenang sebagai Srikandi Nusantara.
![LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [CUT NYAK DIEN] - prabowosubianto.com](https://prabowosubianto.com/wp-content/uploads/2024/08/sukita-info-5edb84e3d541df234d371552.jpg)