Kololi Kie adalah lebih dari sekadar tradisi berjalan kaki mengelilingi Gunung Gamalama. Ia adalah ritual sakral yang menyatukan dimensi adat, agama, alam, dan sosial. Dari perspektif historis, ia lahir sebagai bentuk doa menghadapi bencana, rasa syukur atas panen, dan sarana memperkuat persatuan. Dari perspektif filosofis, ia mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Baca juga : konflik timur tengah berdampak secara global
Baca juga : Perjalanan karier verrell bramasta
Baca juga : inovasi perkebunan pertanian cabe rawit
Baca juga : petualangan ekstream gunung latimojong
Baca juga : Fungsi Paprika bagi kesehatan
Ternate, sebuah pulau kecil di Maluku Utara, dikenal luas karena sejarahnya yang kaya, terutama sebagai salah satu pusat perdagangan rempah-rempah dunia. Sejak berabad-abad lalu, pulau ini telah menjadi pusat dari Kesultanan Ternate, sebuah kerajaan Islam berpengaruh yang lahir sekitar abad ke-13. Kejayaan Kesultanan Ternate tidak hanya ditopang oleh perdagangan cengkih, tetapi juga oleh sistem adat istiadat yang kuat dan diwariskan lintas generasi.
Salah satu tradisi yang paling sakral, unik, dan penuh makna dalam kebudayaan Ternate adalah Kololi Kie. Secara harfiah, “Kololi Kie” berarti mengelilingi gunung. Kata kololi dalam bahasa Ternate berarti mengelilingi atau memutari, sedangkan kie berarti gunung. Gunung yang dimaksud tentu adalah Gunung Gamalama, sebuah gunung berapi aktif yang menjadi ikon sekaligus penopang kehidupan masyarakat di Pulau Ternate.
Tradisi ini tidak sekadar aktivitas berjalan kaki atau perjalanan wisata alam. Kololi Kie adalah sebuah ritual adat dan spiritual yang mengandung nilai filosofis, sosial, dan religius. Ia merupakan wujud nyata hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama, serta manusia dengan Sang Pencipta
Gunung Gamalama: Pusat Spiritualitas dan Identitas Orang Ternate

http://www.eskicanakkale.com
Sebelum memahami Kololi Kie, penting untuk memahami posisi Gunung Gamalama dalam kosmologi budaya masyarakat Ternate. Gunung setinggi 1.715 meter ini berdiri tegak di tengah Pulau Ternate, sehingga ke mana pun orang memandang, Gamalama selalu terlihat. Bagi masyarakat Ternate, gunung ini bukan sekadar bentang alam, melainkan simbol keagungan, perlindungan, dan sakralitas.
Sejak masa pra-Islam, masyarakat Ternate meyakini bahwa Gunung Gamalama adalah tempat bersemayamnya roh leluhur dan penjaga pulau. Setelah Islam masuk melalui Kesultanan Ternate pada abad ke-13, kepercayaan itu tidak hilang, melainkan menyatu dengan ajaran Islam. Gamalama dipandang sebagai tanda kebesaran Allah, sementara ritual-ritual yang terkait dengannya diberi nuansa Islami.
Gamalama juga menjadi penopang ekonomi. Lerengnya subur untuk tanaman cengkih, pala, dan berbagai hasil bumi lain yang menjadi komoditas utama Ternate. Air dari mata air pegunungan menghidupi masyarakat, sementara hutan di sekitarnya menjadi sumber pangan dan obat-obatan. Tidak heran, penghormatan terhadap gunung ini dituangkan dalam bentuk ritual adat seperti Kololi Kie.
Sejarah dan Asal-Usul Kololi Kie
Tradisi Kololi Kie diyakini telah ada sejak ratusan tahun lalu, pada masa Kesultanan Ternate masih berjaya. Menurut catatan sejarah dan cerita lisan masyarakat, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya tradisi ini:

- Perlindungan dari Bencana
Ternate kerap dilanda bencana alam, terutama letusan Gunung Gamalama. Letusan besar pernah terjadi pada tahun 1673, 1775, 1838, dan 1980. Untuk memohon keselamatan, masyarakat bersama para pemimpin adat melakukan Kololi Kie sebagai bentuk doa agar bencana tidak memakan banyak korban. - Ritual Tolak Bala
Selain bencana alam, wabah penyakit juga sering menyerang. Kololi Kie dilakukan untuk mengusir bala dan membersihkan kampung dari mara bahaya. Dalam Islam, hal ini dipadukan dengan doa selamat dan pembacaan ayat-ayat suci. - Syukur atas Hasil Panen
Sebagai penghasil utama cengkih, masyarakat Ternate melakukan Kololi Kie untuk mensyukuri hasil bumi yang melimpah. Ritual ini sekaligus menjadi doa agar panen berikutnya tetap subur. - Memperkuat Persatuan
Kololi Kie juga berfungsi sebagai sarana mempererat hubungan antar-soa (kelompok kekerabatan). Semua orang ikut serta, tanpa memandang kedudukan sosial, sehingga tumbuh rasa kebersamaan dan solidaritas.
Proses Pelaksanaan Kololi Kie
1. Tahap Persiapan

Pelaksanaan Kololi Kie dimulai dengan musyawarah para bobato (tetua adat) bersama Sultan atau perwakilan kesultanan. Waktu pelaksanaan biasanya ditentukan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika terjadi bencana, menjelang peringatan besar, atau dalam festival budaya.
Sebelum berangkat, diadakan doa pembuka di Kedaton Kesultanan Ternate atau di masjid besar. Doa ini dipimpin oleh ulama, dengan harapan perjalanan diberkahi dan dijauhkan dari marabahaya. Para peserta menyiapkan bekal berupa makanan, air minum, dan perlengkapan sederhana, karena perjalanan bisa memakan waktu berhari-hari.
2. Tahap Perjalanan
Peserta Kololi Kie berjalan kaki mengelilingi Gunung Gamalama melalui jalur kampung-kampung tua yang ada di lereng gunung. Jalur ini biasanya meliputi desa-desa seperti Foramadiahi, Tobololo, Loto, dan beberapa perkampungan lain yang terhubung membentuk lingkaran.
Di setiap kampung yang dilewati, rombongan berhenti sejenak untuk melakukan doa bersama. Kadang-kadang ada ritual kecil berupa pembacaan doa selamat, pemberian sesaji simbolis, atau makan bersama penduduk setempat.
Perjalanan ini tidak mudah. Medannya berat, dengan jalan berbatu, menanjak, dan kadang melewati hutan lebat. Namun, kesulitan itu justru menjadi simbol kesabaran, kebersamaan, dan keteguhan iman.
3. Tahap Penutupan
Setelah rombongan berhasil mengelilingi gunung, mereka kembali ke Kedaton atau masjid untuk menutup ritual dengan doa syukur. Biasanya, ditutup dengan dudu-dudu, yaitu doa bersama dan makan besar sebagai bentuk persaudaraan.
Simbol dan Filosofi dalam Kololi Kie
Setiap elemen dalam Kololi Kie mengandung makna mendalam:

- Gunung Gamalama: simbol keagungan, kekuatan, dan pusat kehidupan.
- Perjalanan Mengelilingi Gunung: lambang perjalanan hidup manusia yang penuh tantangan, di mana kebersamaan menjadi kunci.
- Doa Bersama: wujud pengakuan bahwa manusia membutuhkan perlindungan Allah.
- Makan Bersama: melambangkan persaudaraan tanpa sekat sosial.
- Kesulitan Perjalanan: simbol kesabaran, ketekunan, dan gotong royong.
Nilai-Nilai dalam Kololi Kie
1. Nilai Religius
Meski berakar pada kepercayaan tradisional, Kololi Kie kini identik dengan nilai-nilai Islam. Ritual dibuka dan ditutup dengan doa, serta diiringi pembacaan ayat Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan akulturasi antara Islam dan adat lokal.
2. Nilai Sosial

Kololi Kie mempertemukan seluruh lapisan masyarakat, dari sultan hingga rakyat biasa. Semua berjalan bersama, makan bersama, dan berdoa bersama. Nilai egalitarian ini memperkuat kohesi sosial masyarakat Ternate.
3. Nilai Ekologis
Dengan mengelilingi gunung, masyarakat diajak untuk menyadari pentingnya menjaga alam. Gunung, hutan, dan air adalah sumber kehidupan yang harus dihormati.
4. Nilai Historis
Kololi Kie menjadi pengingat akan sejarah panjang Ternate. Ia adalah warisan leluhur yang memperkuat identitas masyarakat sebagai pewaris Kesultanan Ternate.
Kololi Kie di Era Modern
Di masa kini, Kololi Kie tidak dilakukan sesering dulu. Namun, tradisi ini tetap hidup dan dijaga, terutama dalam tiga konteks:
- Ritual Adat
Masih dilakukan pada saat-saat khusus, misalnya ketika ada bencana alam, atau sebagai bentuk doa bersama menghadapi situasi sulit. - Festival Budaya
Pemerintah daerah Maluku Utara menjadikan Kololi Kie bagian dari agenda festival budaya untuk menarik wisatawan. Dalam versi ini, perjalanan lebih singkat dan dikemas agar lebih mudah diikuti. - Identitas Lokal
Bagi masyarakat Ternate, Kololi Kie bukan hanya tradisi, tetapi juga simbol identitas. Ia menjadi pengingat bahwa orang Ternate adalah pewaris budaya besar yang harus dilestarikan.
Tantangan dan Pelestarian

Seiring modernisasi, tradisi Kololi Kie menghadapi beberapa tantangan:
- Berubahnya pola hidup masyarakat: generasi muda lebih banyak terpengaruh budaya luar.
- Kesulitan medan: perjalanan mengelilingi gunung membutuhkan fisik yang kuat, sehingga tidak semua orang mampu mengikutinya.
- Kurangnya dokumentasi: sebagian besar pengetahuan tentang Kololi Kie masih berupa cerita lisan.
Untuk melestarikannya, pemerintah daerah, Kesultanan Ternate, dan komunitas budaya berupaya:
- Menjadikan Kololi Kie bagian dari kalender pariwisata budaya.
- Mendokumentasikan tradisi ini dalam bentuk buku, film, dan penelitian.
- Melibatkan generasi muda melalui kegiatan adat dan festival.