Bayangkan 10.000-15.000 orang berkumpul melempar ketupat ke segala arah, tapi yang hadir bukan permusuhan—melainkan tawa, doa, dan kebersamaan. Pada 4 Desember 2025, Perang Topat Lingsar Lombok kembali digelar di Pura Lingsar dengan antusiasme luar biasa, menarik 10 hingga 15 ribu pengunjung selama rangkaian acara satu pekan. Acara yang baru saja berlangsung ini membuktikan bahwa toleransi di Indonesia bukan sekadar slogan—tapi tradisi yang hidup turun-temurun selama berabad-abad.
Tradisi ini merupakan perayaan simbolis yang mencerminkan persatuan antara umat Islam Sasak dan Hindu Bali di Lombok, dan tahun 2025 ini menandai momen penting karena kembali masuk dalam kalender Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025 dari Kementerian Pariwisata.
Tradisi Berabad-Abad yang Mengubah Konflik Jadi Perdamaian

Sejarah Perang Topat berakar dari hubungan panjang antara umat Hindu dan Islam di Lombok sejak masa Kerajaan Karangasem Bali pada abad ke-16. Kisahnya dimulai ketika rencana pembangunan Pura Lingsar pada tahun 1759 menimbulkan penolakan dari masyarakat Muslim Sasak yang menganggap kawasan tersebut memiliki nilai historis bagi mereka karena terdapat kolam mata air bernama Kemaliq.
Yang menarik adalah bagaimana kedua komunitas ini menyelesaikan perselisihan. Alih-alih berperang, mereka memilih jalan damai. Berkat peran seorang kiai setempat yang kharismatik, kedua pihak berdamai dan melahirkan tradisi Perang Topat sebagai simbol kerukunan.
Bupati Lombok Barat H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ) menegaskan bahwa tradisi ini bukan sekedar ritual tahunan atau festival budaya, tetapi merupakan simbol agung kerukunan dan toleransi. Dalam konteks Indonesia yang plural, tradisi ini menjadi bukti nyata bahwa perbedaan agama dan suku bukan penghalang untuk hidup harmonis.
Tradisi ini dilaksanakan di Pura Lingsar yang unik karena memiliki dua bangunan sakral: Pura Gaduh untuk umat Hindu dan Kemaliq untuk umat Islam. Keunikan arsitektur ini sendiri sudah menjadi simbol harmonisasi kedua umat yang hidup berdampingan. Saat sore tiba, tepatnya setelah salat ashar yang dalam bahasa Sasak disebut “raraq kembang waru” (gugur bunga pohon waru), kedua komunitas berkumpul di titik masing-masing dan ritual pun dimulai.
Warisan Budaya Tak Benda: Pengakuan Nasional yang Membanggakan

Perang Topat merupakan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang diakui secara nasional melalui surat keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 19255/mpk.F/kb/2020. Status ini menempatkan Perang Topat dalam kategori yang sama dengan warisan budaya Indonesia lainnya seperti Wayang, Batik, dan Angklung.
Indonesia memiliki banyak warisan budaya takbenda yang patut dibanggakan. Pada tahun 2025, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan 514 warisan budaya takbenda Indonesia, sehingga total warisan budaya takbenda Indonesia yang ditetapkan dari tahun 2013 hingga 2025 berjumlah 2.727 warisan budaya. Perang Topat menjadi salah satu dari ribuan warisan tersebut yang masih aktif dipraktikkan hingga kini.
Status WBTB ini bukan sekadar pengakuan formal. Ini adalah komitmen negara untuk melestarikan tradisi yang mengajarkan nilai toleransi di tengah keberagaman Indonesia. Dalam era di mana konflik antarumat beragama masih terjadi di berbagai belahan dunia, Perang Topat menjadi model inspirasi bagaimana perbedaan bisa dirayakan, bukan diperdebatkan.
Perang Topat 2025: Fakta dan Angka Terkini

Puncak perayaan Puja Wali dan Perang Topat 2025 digelar pada 4 Desember di Pura Lingsar dengan tema “The Power of Culture”. Acara ini bukan event satu hari. Rangkaian kegiatan berlangsung sejak 29 November hingga 7 Desember 2025, dimulai dengan berbagai prosesi sakral dan atraksi budaya.
Sebanyak 450 personel gabungan TNI–Polri dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat disiagakan untuk mengamankan rangkaian acara. Pengamanan skala besar ini melibatkan 275 personel Polresta Mataram, satu kompi BKO Satbrimob Polda NTB, satu kompi BKO Ditsamapta Polda NTB, personel Kodim 1606/Mataram, Satpol PP Lombok Barat, serta Dinas Perhubungan Lombok Barat.
Jumlah penonton yang memadati tradisi Perang Topat mencapai 10 hingga 15 ribu orang, dihitung selama satu pekan rangkaian acara berlangsung. Yang menarik, pengunjung tidak hanya berasal dari lokal Lombok, tapi juga wisatawan mancanegara dari Australia, Belanda, dan Malaysia.
Beberapa pengunjung pertama kali yang hadir memberikan testimoni menarik. Alimuddin (23), warga Lombok Tengah yang baru pertama kali menonton, mengaku terkesan dengan kuatnya toleransi dalam tradisi tersebut. Ahmad Hafizi (32) menilai tradisi ini sebagai ajang pembelajaran toleransi antarumat beragama.
Rangkaian Prosesi: Lebih dari Sekedar Lempar Ketupat

Rangkaian acara dimulai dengan atraksi peresean pada 29 November–1 Desember, diikuti dengan bazar UMKM serta sejumlah aktivitas budaya dan keagamaan. Prosesi sakral meliputi:
Persiapan Awal:
- Pembuatan Kebon Odeq (kebun kecil)
- Roah Gubug atau haul Islami
- Pemasangan abah-abah (perlengkapan upacara)
- Gotong royong masyarakat Hindu dan Muslim
Prosesi Inti:
- Presean: Adu ketangkasan khas Lombok menggunakan tongkat rotan dan perisai kulit kerbau
- Mendak Betara: Prosesi menjemput dewa
- Ngelilingan Kaoq: Menggiring kerbau sebagai simbol penghormatan antarumat beragama
- Pujawali: Sembahyang bersama umat Hindu di Pura Lingsar
Puncak Acara: Puncak acara Perang Topat ditandai dengan Raraq Kembang Waru atau gugurnya bunga pohon waru, dan dimulai secara resmi setelah pelemparan simbolis oleh para tokoh yang hadir sebagai bentuk penghormatan.
Setelah pelemparan simbolis oleh tokoh kedua kubu, ribuan peserta mulai saling melempar ketupat berukuran kecil. Suasana penuh sukacita, tawa, dan kegembiraan. Meskipun ada yang mengalami luka ringan atau lebam karena terkena lemparan ketupat, tidak ada perasaan dendam atau permusuhan. Justru sebaliknya, atmosfer persaudaraan dan kebersamaan sangat terasa.
Makna Filosofis: Ketupat sebagai Simbol Berkah
Ketupat yang dilemparkan dipercaya membawa berkah kesuburan bagi lahan pertanian. Dalam kepercayaan masyarakat Lombok, setiap ketupat yang jatuh ke tanah membawa doa dan harapan untuk panen yang melimpah.
Namun makna filosofisnya lebih dalam dari itu. Saling lempar ketupat juga menjadi simbol perlawanan kepada setan yang mengganggu manusia dan menjerumuskan kepada kehancuran. Ketupat yang terbuat dari anyaman janur kelapa melambangkan kesucian dan pengampunan.
Tradisi ini mengajarkan bahwa “perang” tidak selalu harus melibatkan kekerasan dan permusuhan. Perang bisa dimaknai sebagai upaya bersama untuk melawan kejahatan, kemunafikan, dan perpecahan. Dengan melempar ketupat, kedua komunitas seolah-olah bersatu melawan musuh bersama: kebencian dan intoleransi.
Dampak Ekonomi: Menggerakkan UMKM dan Pariwisata Lokal
Event yang masuk KEN 2025 ini secara signifikan menggerakkan ekonomi lokal dengan melibatkan dan memberdayakan banyak UMKM melalui proses kurasi. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat tidak hanya fokus pada aspek budaya, tapi juga bagaimana tradisi ini bisa menjadi pendorong ekonomi kerakyatan.
Bazar UMKM yang digelar selama rangkaian acara memberikan peluang bagi pelaku usaha lokal untuk mempromosikan produk mereka kepada ribuan pengunjung. Dari kerajinan tangan, kuliner khas Lombok, hingga produk fashion tradisional—semuanya dipamerkan dan dijual selama acara berlangsung.
Dampak ekonomi tidak hanya dirasakan oleh pedagang dalam event. Hotel, restoran, transportasi lokal, dan berbagai jasa pariwisata juga merasakan peningkatan signifikan. Dengan kedatangan wisatawan mancanegara, devisa bagi daerah juga meningkat. Ini membuktikan bahwa pelestarian budaya dan pengembangan ekonomi bisa berjalan beriringan.
Visi ke Depan: Dari Tradisi Lokal Menuju Panggung Internasional
Pemerintah Kabupaten Lombok Barat bertekad mengemas Perang Topat dalam skala yang jauh lebih besar, karena tradisi ini mengisyaratkan pesan toleransi yang dinilai semakin memudar di berbagai belahan dunia.
Bupati LAZ berencana mengundang tokoh nasional pada perayaan mendatang, bertujuan untuk menunjukkan kepada publik yang lebih luas bahwa toleransi di Lombok Barat sangat kental, menjadikannya model inspirasi bagi kerukunan di tengah keberagaman Indonesia.
Rencana ambisius ini bukan tanpa alasan. Di tengah polarisasi yang meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia, Perang Topat menawarkan solusi konkret bagaimana perbedaan bisa dikelola dengan bijak. Pemerintah daerah ingin tradisi ini tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tapi juga inspirasi nasional bahkan internasional.
Dengan masuknya Perang Topat dalam kalender Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025, eksposur media dan perhatian publik semakin meningkat. Ini adalah momentum yang tepat untuk mengenalkan tradisi toleransi ini ke dunia yang lebih luas.
Baca Juga Karnaval Seni Nada Wicara HAKORDIA Jogja 2025
Pelajaran Berharga dari Perang Topat
Perang Topat Lingsar Lombok 2025 bukan sekadar ritual tahunan. Ini adalah bukti nyata bahwa toleransi, kerukunan, dan persaudaraan antarumat beragama bisa dibangun dan dipelihara lintas generasi. Dengan 10.000-15.000 pengunjung, pengamanan 450 personel, dan status sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional, tradisi ini membuktikan bahwa perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman.
Data menunjukkan bahwa tradisi ini terus tumbuh dari tahun ke tahun. Antusiasme masyarakat lokal, wisatawan domestik, dan mancanegara membuktikan daya tarik universal dari nilai-nilai toleransi yang ditawarkan. Dalam era digital di mana informasi menyebar cepat, tradisi seperti ini bisa menjadi konten positif yang menginspirasi jutaan orang.
Pelajaran terbesar dari Perang Topat adalah bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan, perbedaan bisa dirayakan bukan diperdebatkan, dan persaudaraan bisa dibangun di atas fondasi saling menghormati. Ini adalah warisan berharga yang harus kita jaga, lestarikan, dan wariskan kepada generasi mendatang.
Dari semua fakta dan data yang telah dibahas, mana yang paling menginspirasimu untuk lebih menghargai keberagaman di sekitarmu? Apakah antusiasme ribuan pengunjung, dedikasi ratusan personel pengaman, atau komitmen pemerintah untuk menjadikannya event internasional? Atau justru makna filosofis di balik setiap lemparan ketupat yang mengajarkan toleransi dan persaudaraan? Bagikan pendapatmu!