Upacara Telu Bulanan (Nyambutin) Adat Bali

Upacara Telu Bulanan (Nyambutin) Adat Bali

http://www.eskicanakkale.com/Bali tidak hanya terkenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kekayaan adat dan budayanya yang begitu mendalam. Masyarakat Bali hidup dalam sebuah tatanan sosial-religius yang berpadu antara kepercayaan Hindu Dharma, filosofi kehidupan, dan adat turun-temurun. Salah satu bentuk nyata dari kekayaan adat itu adalah upacara Telu Bulanan, yang dalam bahasa sehari-hari juga dikenal dengan sebutan Nyambutin.

RRI.co.id - Tujuan, Pelaksanaan dan Makna Upacara 3 Bulanan di Bali

Baca juga : Tragedi Tol Cipali Kecelakaan Maut di Ruas Tol
Baca juga : Minimalisme Kalangan Menengah ke Bawah
Baca juga : jejak karier achmad jufriyanto
Baca juga : Inovasi Perkebunan Pohon Mangga Berkualitas
Baca juga : Petualangan Mendaki Gunung Merbabu
Baca juga : Mabar Free Fire bagi Anak Dampak Nyata

Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan (105 hari) dalam hitungan kalender Bali. Telu Bulanan menjadi salah satu tonggak penting dalam siklus kehidupan manusia menurut adat Bali, karena menandai pertama kalinya seorang bayi diperkenalkan kepada bumi tempat ia hidup. Upacara ini bukan sekadar ritual penyambutan, melainkan sebuah prosesi sarat makna yang menghubungkan manusia dengan leluhur, alam semesta, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Sejarah dan Asal-usul Upacara Telu Bulanan

Sejarah upacara ini tidak terlepas dari ajaran Hindu Bali yang mengatur siklus kehidupan manusia, mulai dari sebelum lahir, kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, pernikahan, hingga kematian. Dalam kepercayaan Bali, seorang bayi yang baru lahir dianggap masih dalam keadaan suci dan rapuh, sangat dekat dengan dunia roh dan leluhur. Oleh sebab itu, dalam masa awal kehidupannya, bayi diperlakukan dengan penuh kehati-hatian.

Upacara Tiga Bulanan, Supaya Bayi Tak Lagi Cuntaka - Bali Express

http://www.eskicanakkale.com

Selama 105 hari pertama, bayi tidak diperkenankan menyentuh tanah. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa bayi masih dalam masa peralihan dari dunia roh menuju dunia manusia. Tanah dianggap sakral, tempat bersemayamnya roh leluhur, sekaligus simbol dari Ibu Pertiwi. Sehingga, kontak pertama bayi dengan tanah dilakukan melalui sebuah prosesi yang khidmat, yaitu Telu Bulanan.

Upacara ini juga erat kaitannya dengan hitungan pawukon dalam kalender Bali. Hitungan 105 hari setara dengan tiga bulan Bali, sehingga disebut “telu bulanan”. Upacara ini diwariskan secara turun-temurun sejak masa Bali Kuno, dan hingga kini masih dilestarikan, meskipun dengan variasi yang berbeda-beda di setiap daerah.


Tujuan dan Makna Filosofis

Upacara Telu Bulanan memiliki banyak lapisan makna, baik spiritual, sosial, maupun filosofis.

Upacara 3 Bulanan - Nelu Bulanin - (adat BALI) putu anaka akupara
  1. Penyucian Bayi
    Bayi disucikan secara lahir batin agar terbebas dari pengaruh negatif atau leteh (kotoran spiritual).
  2. Pengakuan Sosial
    Bayi secara resmi diakui sebagai anggota keluarga dan masyarakat adat. Setelah upacara ini, ia bisa dibawa ke pura atau ke berbagai kegiatan adat.
  3. Perkenalan dengan Alam
    Saat pertama kali menyentuh tanah, bayi diperkenalkan pada Ibu Pertiwi sebagai sumber kehidupan. Ini menegaskan filosofi Tri Hita Karana: keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.
  4. Doa untuk Masa Depan
    Orang tua dan keluarga berdoa agar sang bayi diberkati dengan kesehatan, keselamatan, panjang umur, dan kelak menjadi manusia berguna bagi keluarga dan masyarakat.
  5. Simbol Peralihan
    Upacara ini menandai peralihan bayi dari “dunia roh” menuju “dunia manusia”. Dengan demikian, ia siap menjalani kehidupan sosial, budaya, dan spiritual sebagai orang Bali.

Persiapan Upacara

Sebelum pelaksanaan upacara, keluarga menyiapkan berbagai hal dengan penuh kesungguhan. Persiapan biasanya dilakukan beberapa hari sebelumnya, melibatkan keluarga inti, kerabat, dan kadang tetangga dalam banjar.

  1. Menentukan Hari Baik
    Hari baik ditentukan berdasarkan kalender Bali dengan perhitungan dewasa ayu. Biasanya orang tua meminta bantuan sulinggih (pendeta) atau pemangku (pemuka agama) untuk menentukan waktu yang tepat.
  2. Menyiapkan Banten (Sesajen)
    • Banten Pejati: Sesajen utama berisi nasi, lauk pauk, buah, canang sari, dan dupa.
    • Sampian: Anyaman janur sebagai hiasan sakral.
    • Tirtha (Air Suci): Diperoleh dari pura untuk penyucian.
    • Beras dan Bunga: Simbol kemurnian dan kehidupan.
  3. Pakaian Bayi
    Bayi biasanya didandani dengan pakaian bersih dan indah, kadang menggunakan kain tradisional Bali.
  4. Tempat Upacara
    Prosesi dapat dilakukan di rumah (pelinggih keluarga) atau di pura keluarga. Ruang upacara dihias dengan janur, bunga, dan berbagai simbol kesucian.

Rangkaian Prosesi Upacara

Upacara Nyambutin: Ritual Tiga Bulanan Bayi Hindu Bali Penuh Makna - Bali  Express

Prosesi Telu Bulanan berbeda-beda di tiap daerah, tetapi secara umum berlangsung dalam beberapa tahapan berikut:

a. Persembahyangan Awal

Seluruh keluarga berkumpul, melakukan sembahyang dipimpin oleh pemangku. Doa ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar upacara berjalan lancar.

b. Penyucian Bayi

Bayi dipangku oleh ayah atau kakek-nenek, lalu diperciki tirtha. Beras ditempelkan di dahi dan sedikit rambut bayi kadang dipotong. Tindakan ini melambangkan pembersihan jiwa dan raga.

c. Simbol Penyatuan dengan Alam

Bayi dihadapkan pada simbol-simbol alam: beras (pangan), api (kehidupan), air (kesucian), bunga (keindahan), dan tanah (ibu pertiwi).

d. Menyentuh Tanah

Inilah momen puncak: bayi diturunkan hingga telapak kakinya menyentuh tanah untuk pertama kali. Biasanya dilakukan hanya beberapa detik, kemudian diangkat kembali.

e. Doa Penutup

Keluarga bersama pemangku memanjatkan doa keselamatan. Sesajen dipersembahkan, dupa dibakar, dan upacara ditutup dengan pembagian tirta untuk diminum oleh keluarga.


Simbol-simbol dalam Upacara

Setiap elemen dalam Telu Bulanan memiliki simbolisme mendalam:

  • Tanah: Ibu Pertiwi, sumber kehidupan, lambang kestabilan.
  • Air suci: Kesucian dan pembersihan.
  • Beras: Kehidupan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
  • Bunga: Keindahan, kesucian, dan doa.
  • Api (dupa): Penghubung doa manusia dengan dunia spiritual.

Simbol-simbol ini menunjukkan bahwa orang Bali hidup dalam harmoni kosmis yang menyatukan unsur alam, roh, dan manusia.


Nilai Sosial dalam Upacara

Telu Bulanan bukan hanya ritual pribadi, tetapi juga peristiwa sosial. Kehadiran keluarga besar dan masyarakat banjar menjadikan upacara ini sarana memperkuat ikatan sosial. Gotong royong terlihat dalam persiapan banten, memasak, hingga membersihkan tempat upacara.

Selain itu, Telu Bulanan juga menjadi ajang pewarisan budaya. Anak-anak dan remaja yang ikut membantu akan belajar tentang adat, simbol, dan makna di balik ritual tersebut. Dengan demikian, upacara ini berfungsi sebagai pendidikan budaya yang tidak tertulis.


Perbandingan dengan Upacara Adat Lain di Bali

Rahajeng Nelu Bulanin, Andra | anggara mahendra

Telu Bulanan hanyalah salah satu dari rangkaian panjang upacara siklus hidup. Beberapa upacara lain yang sejenis antara lain:

  • Magedong-gedongan (untuk ibu hamil).
  • Otonan (ulang tahun menurut kalender Bali).
  • Nelu Bulanin (varian dari Telu Bulanan).
  • Menek Kelih (upacara akil balig).
  • Ngaben (upacara kematian).

Perbandingan ini menunjukkan konsistensi adat Bali dalam merayakan setiap fase kehidupan dengan penuh makna spiritual.


Telu Bulanan di Masa Kini

Modernisasi membawa perubahan dalam tata cara upacara. Beberapa keluarga memilih melaksanakannya secara sederhana karena keterbatasan biaya atau waktu. Namun, makna filosofisnya tetap dijaga.

Kini, ada dua kecenderungan utama:

  1. Pelestarian Tradisi Asli: Keluarga adat di desa-desa Bali tetap melaksanakan upacara lengkap dengan segala detail banten.
  2. Adaptasi Modern: Keluarga perkotaan melakukan versi sederhana, tetapi inti upacara—penyucian dan menyentuh tanah—tetap dilakukan.

Hal ini menunjukkan kemampuan adat Bali untuk beradaptasi tanpa kehilangan esensi.

Upacara Telu Bulanan (Nyambutin) adalah tradisi sakral orang Bali yang sarat makna. Ia tidak hanya menjadi tanda bayi pertama kali menyentuh bumi, tetapi juga simbol penyucian, pengakuan sosial, dan doa untuk kehidupan masa depan.

Melalui prosesi ini, kita melihat bagaimana masyarakat Bali menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Upacara ini juga berperan penting dalam memperkuat ikatan keluarga, banjar, serta sebagai media pendidikan budaya bagi generasi muda.
Meskipun zaman berubah, upacara Telu Bulanan tetap relevan dan dijalankan dengan khidmat. Ia menjadi bukti nyata bahwa adat Bali adalah tradisi hidup yang terus berkembang, bukan sekadar warisan masa lalu.